Racing is my blood, Islam is my way to life

DALIL-DALIL BAHWA SETIAP BID’AH SESAT DAN TIDAK ADA BID’AH HASANAH

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah: 3)

Malik bin Anas Rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang melakukan suatu bid’ah dalam Islam yang dia menganggap baik bid’ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu”. (QS. Al-Ma’idah: 3) Oleh sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka ia bukan termasuk agama pada hari ini”( al-I’tisham oleh asy-syaathibiy,1/64)

Asy-Syaukani Rahimahullah berkata : ”Maka jika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wafat, maka apa artinya pendapat bid’ah yang di buat buat oleh kalangan ahli bid’ah tersebut!!? Kalau memang hal tersebut merupakan agama menurut mereka,, berarti mereka telah beranggapan bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan tambahan pemikiran mereka, dan itu berarti pmbangkangan terhadap Al Qur’an. Kemudian jika pemikiran mereka itu tidak termasuk dalam agama, maka apa manfaatnya mereka meyibukan diri mereka dengan sesuatu yang bukan dari agama ini”!?

Ini merupakan merupakan hujjah yang kokoh dan dalil yang agung yang selamanya tidak mungkin dapat di bantah oleh pemilik pemikiran tersebut. Dengan alasan itulah, hendaknya kita menjadikan ayat yang mulia ini sebagai langkah awal untuk menampar wajah-wajah ahli logika, membungkam mereka serta mematahkan hujjah-hujjah mereka.(Al-Qaulul Mufiid Adillatil Ijtihaad Wattaqliid, hal. 38, Merupakan bagian dari Risalaah Assalafiyyah, Cet: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.

2. Hadits dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sering mengatakan dalam khutbahnya:

“Amma ba’ad. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim, no.867)

3.Dari ‘Irbadh bin Saariyah [/i]Radhiyallahu ‘anhu[/i] ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah memberikan kepada kami suatu nasihat yang menggetarkan hati dan membuat air mata kami berlinang, lalu kamipun berkata: “Ya Rasulullah sepertinya ini merupakan nasehat perpisahan maka nasehatilah kami wahai Rasulullah! Beliaupun lalu bersabda:

“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, (agar) mendengarkan dan mentaati, sekalipun kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya. Karena sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang dipanjangkan umurnya, maka ia akan melihat banyak terjadi perselisihan (dalam agama), maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku, berpegang teguhlah padanya, gigitlah sunnah itu dengan gigi gerahammu. Dan berhati-hatilah kamu terhadap perkara-perkara yang dibuat-buat (dalam agama), karena sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (HR. Ahmad 4/126, Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzy no. 2676, Ibnu Majah no. 44, Ad-Darimy (1/44-45).

Berkata Ibnu Rajab Rahimahullah: “Perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ‘setiap bid’ah itu adalah kesesatan’ merupakan ‘Jawaami’ul kalim’ (satu kalimat yang ringkas namun mempunyai arti yang sangat luas) yang meliputi segala sesuatu, kalimat itu merupakan salah satu dari pokok-pokok ajaran agama yang agung”. (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, hal 28)

Berkata Ibnu Hajar: “Perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, merupakan suatu kaidah agama yang menyeluruh, baik itu secara tersurat maupun tersirat. Adapun secara tersurat, maka seakan-akan beliau bersabda: “Hal ini adalah bid’ah hukumnya dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, sehingga ia tidak termasuk bagian dari agama ini, sebab agama ini seluruhnya merupakan petunjuk. Oleh karena itu maka apabila telah terbukti bahwa suatu hal tertentu hukumnya bid’ah, maka berlakulah dua dasar hokum itu (setiap bid’ah sesat dan setiap kesesatan bukan dari agama), sehingga kesimpulannya adalah tertolak.” (Fathul Baary, 13/254)

Muhammad bin Shalihal-‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “setiap bid’ah”, merupakan ungkapan yang bersifat umum dan menyeluruh, karena diperkokohkan dengan kata yang menunjukkan makna menyeluruh dan umum yang paling kuat, yakni kata “setiap”. (Al-Ibdaa’ Fi Kamaalis Syar’I wa Khatharul Ibdaa’, oleh Ibnu Utsaimin hal 13)

Sesungguhnya pedang pamungkas ini dibuat dalam industri kenabian dan kerasulan, bukan hasil ciptaan berbagai rumah produksi yang penuh kegoncangan, ia merupakan produk kenabian yang diciptakan secara optimal. Karena itulah maka tidak mungkin orang yang memiliki pedang pamungkas seperti ini akan mampu dihadapi oleh siapapun dengan suatu bid’ah yang dianggapnya sebagai bid’ah hasanah, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengatakan “setiap bid’ah itu adalah kesesatan”. (Al-Ibdaa’ Fi Kamaalis Syar’I wa Khatharul Ibdaa’, oleh Ibnu Utsaimin hal 13)

4. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan yang dibuat-buat dalam ajaran kami (agama) padahal amalan itu bukan berasal dari agama ini, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari – Muslim)

Asy-Syaukani Rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu dari kaidah-kaidah agama, sebab hadits ini mendasari hokum-hukum yang tiada terbatas. Dan betapa tegas hadits ini dan betapa jelas indikasinya terhada kebatilan para fuqaha’ yang membagi bid’ah menjadi beberapa macam serta hanya menolak sebagian bid’ah saja tanpa ada dalil yang mengkhususkannya baik dari dalil aqly maupun dalil naqly.”

5. Dari Abdullah bin ‘Ukaim bahwasanya Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang dibuat-buat (dalam agama). Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.” (Ibnu Wudhah dalam Al-Bida’, hal 31 dan Al-Laalikaa’iy hadits no.100 (1/84)

6. Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Setiap bid’ah itu adalah kesesatan, sekalipun manusia menganggapnya hasanah (baik).” (Al-Ibaanah, no 205 (1/339), Al-Laalikaa’iy, no. 126 (1/92)

Sumber: MENGAPA ANDA MENOLAK BID’AH HASANAH? Karangan Abdul Qayyum Muhammad As-Sahibany terbitan At-Tibyan hal 23 – 30
Judul asli: Al Luma’ Fil-Rudd ‘Alaa Muhassiny Al-Bida’

17 responses

  1. nana

    ga usah ngeblog, ngeblog tu bid`ah…
    jgn nampilin gambar yg bernyawa…itu ga boleh juga !

    Mei 28, 2009 pukul 2:09 am

  2. afawan akhi ana permisi ni ana ncopy tulisan akhi kemudian ana postingin di blog ana kemudian ana ganti judulnya. ga’ pa pa kan ?

    Oktober 22, 2009 pukul 12:33 pm

  3. augustaracing

    silahkan monggo…

    Oktober 25, 2009 pukul 6:25 am

  4. nice post.. Allah tahu mana yang benar dan salah.

    Agustus 26, 2010 pukul 7:25 am

  5. kalau ana mah setuju sekali karena bidah hasanah itu tidak ada dasar hukumnya rukun iman dan rukun islam jadi beruban tuh

    Desember 9, 2010 pukul 12:23 am

    • kalau menurut ana bidah hasanah itu tidak ada dasar hukumnya dan mungkin juga karena kepentingan golongan saja atau upaya kaum yahudi mengobrak abrik islam dengan faham kaum pagannya sehingga umat islam berada dalam kebingungan karena kebodohan celaka deh duh kasep geulis da nu leresmah mungguh ti Alloh sareng Rosulna sanes ti kiayi sareng ti ustad geura teleman Al Quran katut Sunnah ke ku hidep bakal kapanggih geura amin.

      Desember 9, 2010 pukul 12:34 am

      • Ade

        untuk memahami isi Al-qur’an membutuhkan ilmu Nahwu-Sharaf, sedangkan mempejari ilmu nahwu sharaf termasuk bid’ah yang hasanah, anak2 kita mempelajari IQRO juga Bid’ah tapi hasanah, Huruf-huruf hijaiyah yg disusun oleh ulama juga bid’ah hasanah. kalo menurut anda bid’ah hasanah hanya kepentingan golongan saja ANDA SALAH

        Desember 25, 2010 pukul 12:41 am

      • emyu

        kalo ga da bid’ah hasanah kita ga bkal tau al-qur’an dlm bntuk mushaf sprti skr, bahkan mp3 al-qur’an terus aplikasi al-quran di hp ,

        banyak orang sholeh melakukan bid’ah hasanah, mereka maninggal khusnul khotimah??

        belajar ilmu bahasa arab pasti tau

        Januari 4, 2011 pukul 2:11 pm

  6. hadzaa sohiiihh…..!!! wa laa budda an nabtaidda minha !!!

    Desember 21, 2010 pukul 7:03 pm

  7. cak tung

    Ass wr wb..

    janganlah kita saling menuding ttg kekurangan..
    dasari dulu hati dg tauhid…baru kemudian bicarakan fiqih… dan jangan sekali-sekali di balik.

    Jika tauhid belum menyatu sudah lompat ke fiqih…biasanya akan terperangkap dlm permasalahan yg tiada henti…dan syetan akan terus membuat kita melihat keluar…tanpa sadar bahwa kita tersesat…maka pahami dan resapi tauhid dg ihlas…( setidaknya berusahalah untuk menyatu )Insya Allah akan di beri petunjuk kepeda pemahaman yg lebih baik…

    Aamiin…

    Wss Wr Wb..

    Desember 26, 2010 pukul 11:47 pm

  8. cak tung

    Ass Wr Wb

    pahamilah…

    semua hal ttg agama sifatnya adalah BATINIAH..
    sedang yg bersifat jasmaniah adalah TRADISI atau BUDAYA…

    sebab itu…
    orang muslim di manapun Insya Allah adalah ISLAM.tapi tata cara menjalaninya tidaklah dapat disamakan karena perbedaan kultur,lingkungan dan alam di sekitarnya.

    semoga bermanfaat…

    Aamin..

    Wss Wr Wb.

    Desember 27, 2010 pukul 12:03 am

  9. kempet

    klo gx da bid’ah hasanah mang pnulis bsa bca qur’an tanpa harokat dan tanpa ilmu tajwid?????

    pengadaan harokatkan brada pada jaman kholifah urrosyidin kholifah usman bin affan!!!

    Februari 23, 2011 pukul 9:28 pm

  10. parhan

    Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

    عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ. (رواه مسلم).

    “Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]).

    Termyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

    عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ. رواه مسلم

    “Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).

    Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:

    عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ r إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ r ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ r «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم.

    “Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).

    Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam hadits lain diriwayatkan:

    وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ t قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ r فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا». رواه البخاري.

    “Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).

    Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.

    Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

    عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ. رواه البخاري.

    “Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).

    Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

    وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ t قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ r وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ t وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ. رواه البخاري.

    “Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).

    Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.

    Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha.

    Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i berkata:

    اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).

    “Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
    Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20, hal. 163).”

    Juni 9, 2011 pukul 2:52 pm

  11. kurniawan

    Ini Dalilnya (8): Pembagian Bid’ah yang Tepat

    Kategori: Manhaj

    5 Komentar // 15 November 2011

    Setelah memahami kekeliruan mereka yang membagi bid’ah persis dengan pembagian hukum syar’i (wajib, mandub, mubah, makruh dan haram). Ada baiknya kalau di sini kami jelaskan klasifikasi bid’ah yang benar, yang tidak bertentangan dengan sabda Nabi: “wa kullu bid’atin dholalah”. Yaitu dengan meninjau dari segi hubungannya dengan syari’at, atau dari kadar bahayanya.

    Ditinjau dari hubungannya dengan syari’at, bid’ah terbagi menjadi dua:

    Bid’ah Haqiqiyyah.
    Bid’ah Idhafiyyah.

    Dalam kitabnya yang sangat monumental, Imam Asy Syathiby mendefinisikan bid’ah haqiqiyyah sebagai berikut:

    اَلْبِدْعَةُ الحَقِيْقِيَّةُ: هِيَ الَّتِي لَمْ يَدُلَّ عَلَيْهَا دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ لاَ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَلاَ إِجْمَاعٍ وَلاَ اسْتِدْلاَلٍ مُعْتَبَرٍ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لاَ فِي الْجُمْلَةِ وَلاَ فِي التَّفْصِيْلِ, وَلذَلِكَ سُمِّيَتْ بِدْعَةً لأَِنَّهَا شَيْءٌ مُخْتَرَعٌ عَلىَ غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ (مختصر الاعتصام, ص 71).

    Bid’ah haqiqiyyah ialah bid’ah yang tidak ada dalil syar’inya sama sekali. Baik dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, maupun istidlal yang mu’tabar[1]) menurut para ulama. Ia sama sekali tak memiliki dalil baik secara umum maupun terperinci, karenanya ia dinamakan bid’ah berangkat dari hakekatnya yang memang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya.

    Contoh bid’ah haqiqiyyah yang akrab dengan masyarakat Indonesia misalnya: puasa mutih, puasa pati geni, padusan (mandi) menjelang datangnya bulan Ramadhan, peringatan bagi orang yang telah meninggal; 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan seterusnya

    Sedangkan bid’ah idhafiyyah menurut Imam Asy Syathiby definisinya ialah:

    البِدْعَةُ الإِضَافِيَّةُ: هِيَ الَّتِي لَهَا شَائِبَتَانِ: إِحْدَاهُمَا: لَهَا مِنَ الأَدِلَّةِ مُتَعَلَّقٌ, فَلاَ تَكُونُ مِنْ تِلْكَ الْجِهَةِ بِدْعَةً. وَالأُخْرَى: لَيْسَ لَهَا مُتَعَلَّقٌ إِلاَّ مِثْلَ مَا لِلْبِدْعَةِ الحَقِيْقِيَّةِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى: أَنَّ الدَّلِيْلَ عَلَيْهَا مِنْ جِهَةِ الأَصْلِ قَائِمٌ, وَمِنْ جِهَةِ الْكَيْفِيَّاتِ أَوِ الأَحْوَالِ أَوِ التَّفْصِيْلِ لَمْ يَقُمْ عَلَيْهَا, مَعَ أَنَّهَا مُحْتَاجَةٌ إِلَيْهِ لِأَنَّ الْغَالِبَ وُقُوْعُهَا فِي التَّعَبُّدِيَّاتِ لاَ فِي الْعَادِيَّاتِ الْمَحْضَةِ (مختصر الاعتصام, ص 71)

    Bid’ah Idhafiyyah: ialah bid’ah yang mengandung dua unsur. Salah satunya memiliki kaitan dengan dalil syar’i, sehingga dari sisi ini ia tidak termasuk bid’ah. Sedang unsur kedua tidak ada kaitannya, namun persis seperti bid’ah haqiqiyyah. Jadi beda antara kedua bid’ah tadi dari segi maknanya ialah: bahwa (bid’ah idhafiyyah) asal-usulnya merupakan sesuatu yang dianjurkan menurut dalil syar’i; akan tetapi dari segi cara pelaksanaan, keadaan, dan detail-detailnya tidak bersandarkan pada dalil. Padahal hal-hal semacam ini amat membutuhkan dalil, karena sebagian besar berkaitan dengan praktik ibadah dan bukan sekedar adat kebiasaan (Mukhtasar Al I’tisham, hal 71).

    Contoh kongkrit dari bid’ah idhafiyyah terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Tapi yang paling akrab dengan masyarakat Indonesia seperti yasinan, tahlilan, shalawatan, membaca wirid bersama selepas shalat dengan dikomandoi oleh Imam, membaca shalawat sebelum adzan dan iqamah, mengkhususkan malam nisfu Sya’ban untuk melakukan ibadah tertentu, maulidan dan lain sebagainya. Bahkan sebagian besar bid’ah yang kita jumpai saat ini rata-rata termasuk bid’ah idhafiyyah. Meski demikian, bahaya yang ditimbulkannya tidak lebih kecil dari bid’ah haqiqiyyah; bahkan lebih besar, mengapa? Karena sepintas ia merupakan taqarrub kepada Allah, hingga banyak orang tertipu dengan ‘penampilan luarnya’, padahal sesungguhnya itu merupakan bid’ah yang dibenci syari’at.

    Pembagian bid’ah lainnya yang dibenarkan ialah yang didasarkan pada bahaya yang ditimbulkannya. Ditinjau dari kadar bahayanya, bid’ah juga terbagi menjadi dua:

    Bid’ah Mukaffirah.
    Bid’ah Ghairu Mukaffirah.

    Bid’ah mukaffirah ialah setiap bid’ah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir, keluar dari Islam. Bid’ah ini biasanya berkaitan dengan keyakinan; seperti bid’ahnya orang-orang Jahmiyyah[2]), bid’ahnya Syi’ah Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariah[3]), bid’ahnya mereka yang mengingkari takdir Allah (Qadariyyah)[4]), dan lain-lain.

    Sedangkan bid’ah ghairu mukaffirah, ialah bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir, akan tetapi terhitung berdosa. Dan tentunya dosa satu bid’ah tidak sama dengan dosa bid’ah lainnya, akan tetapi tergantung dari bentuk bid’ah itu sendiri dan keadaan pelakunya. Namun bagaimanapun juga bid’ahnya tetap tertolak, meski orang tersebut melakukannya dengan ikhlas dan berangkat dari kejahilan.

    -bersambung insya Allah-

    Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc

    Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah

    Artikel http://www.muslim.or.id

    [1] Istidlal yang mu’tabar di sini maksudnya ialah mashalih mursalah. Karena mashalih mursalah memiliki banyak konotasi seperti: Al Maslahah Al Mursalah, Al Istishlaah, Al Istidlaal Al Mursal dan Al Istidlaal. (lihat: Al Bahrul Muhith, (كتاب الأدلة المختلف فيها,باب: المصالح المرسلة) oleh Badruddien Az Zarkasyi).

    [2]) Yaitu suatu aliran sesat yang dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan, pendirinya. Mereka mengingkari semua sifat Allah dengan dalih ingin menyucikan dzat Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Akhirnya mereka justeru terjerumus dalam kesesatan yang lebih fatal lagi, karena dengan begitu mereka justeru menyerupakan Allah dengan sesuatu yang tidak ada. Karena segala sesuatu yang ada pasti memiliki sifat tertentu, apa pun wujudnya. Sehingga bila sifat-sifat tersebut dinafikan maka sama dengan menafikan keberadaannya.

    [3]) Yaitu firqah syi’ah terbesar saat ini, yang meyakini bahwa mereka memiliki dua belas Imam yang ma’shum, yang mengetahui apa yang terdapat pada lauhul mahfuzh, mereka bisa mati sekehendak mereka, dan senantiasa mengatur alam semesta. Mereka mengkafirkan seluruh sahabat Nabi, kecuali empat atau maksimal enam orang, yaitu: Ali bin Abi Thalib, Al Hasan, Al Husein, Salman Al Farisi, Abu Dzar dan Miqdad ibnul Aswad.

    [4]) Yang dicetuskan oleh Ma’bad Al Juhani dari Irak pada zaman tabi’in. Ia mengatakan bahwa manusia berbuat sesuai dengan kehendaknya dan terlepas dari takdir Allah. Artinya semua perbuatan manusia terjadi tanpa ketentuan terlebih dahulu dari Allah. Sehingga dengan demikian mereka telah mengingkari salah satu rukun iman yang enam, yaitu iman kepada takdir.

    Februari 25, 2012 pukul 3:18 am

  12. m_mahmud59@yahoo.com

    Segala bid’ah boleh jika untuk urusan DUNIAWI aja yg ana tau. u urusan Ibadah gak boleh…TITIK.!!!

    Juni 20, 2012 pukul 1:02 pm

  13. memang kamu tuhan yg seenaknya mengatakan bahwa bid’ah itu tidak boleh untuk ibadah.
    lalu bagaimana anda akan menjelaskan para sahabat nabi muhammad saw dulu yg pernah melakukan bid’ah sementara nabi pun gak pernah mengatakan kepada seluruh para sahabatnya dulu bahwa jika ia wafat nanti jangan di buat lagi bid’ah itu sendiri .tidak ada kan nabi menyuruh begitu .yg sampai sekarang ada suatu kelompok atau aliran yg mengakui bahwa mereka mengikuti segala sunnah yg dilalukan oleh rasullulah saw dulu & mensyirikan agama selain nya yg mereka anggap telah menyeleweng jauh dari pada apa yg dilakukan nabi dulu.
    yang manakah yg harus diikuti siapakah yg mengikuti sunnah nabi sekarang ???
    coba kamu buktikan dalil ayat yg mengatakan bahwa bid’ah itu cuma boleh untuk urusan duniawi saja . berarti kamu mengajarkan kita semua untuk mengejar kebaikan duniawi saja sementa untuk akhirat tidak ? ? ?
    yg pada hal nya kita harus menyeimbangkan diantara keduanya.untuk mencapai kehidupan yg kekal di akhirat.

    semua bid’ah yg dilalukan dalam urusah ibadah itu tidak boleh???
    lantas duniawi boleh???

    Agustus 21, 2012 pukul 11:08 am

Tinggalkan Balasan ke hamba Allah Batalkan balasan